-->

Hot News

Festival Budaya dan Perlunya Diversifikasi Pangan Lokal Masyarakat Ulumanda

By On Minggu, November 27, 2022

Minggu, November 27, 2022

Oleh: Harmegi Amin
(Pemred Masalembo.com)

BEBERAPA bulan terakhir redaksi kami (masalembo.com) banyak mendapat kiriman email terkait isu-isu terhangat dunia. Beberapa komunitas menyampaikan rilis dan artikel. Ada yang minta dipublis juga sebagian hanya menyampaikan informasi dan pandangan mereka tentang perkembangan global, nasional dan juga lokal. Mulai dari kasus narkoba, fenomena bunuh diri yang marak belakangan ini, dan yang terakhir yang saya ingat adalah soal ancaman krisis iklim dunia dan resesi ekonomi tahun 2023.

Isu-isu ini tentu sangat menarik dibahas, tapi di kesempatan ini saya hanya ingin bicara sedikit tentang krisis iklim dunia dalam konteks Indonesia. Rujukan saya adalah sebuah komunitas independen bernama Indonesia Team Leader 350 yang telah mengingatkan akan dampak dari fenomena tersebut. Yaitu bencana ekologi. Apalagi seiring meningkatnya emisi gas rumah kaca karena pesatnya proyek energi kotor batubara belakangan ini. Akibat krisis iklim tersebut bencana dapat berupa kekeringan dan banjir bandang yang sama-sama mengancam kehidupan kaum tani. Belum lagi makin banyaknya hama tanaman dan gangguan pertanian lainnya karena perubahan iklim yang mendadak. Lebih mengerihkan lagi karena dapat mengancam jiwa manusia akibat bencana alam banjir, tanah longsor dan pasang air laut.

Bila kita menegok data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), selama abad 20, Indonesia mengalami peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan tanah 0,5 derajat celcius. Menurut Bappenas suhu di Indonesia diproyeksikan meningkat 0,8 sampai 1,0 derajat Celcius antara tahun 2020 hingga 2050. Bappenas memperkirakan di 2100, jika tidak ada langkah yang tepat, temperatur Indonesia akan meningkat 1,5 derajat Celsius dan cuaca ekstrem akan lebih intens. Kondisi iklim ini akan menciptakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, berkurangnya produksi pertanian, dan terbatasnya area penangkapan ikan untuk nelayan.

Ancaman Serius 

Narasi yang dikembangkan kawan-kawan di komunitas Indonesia Team Leader 350 itu bukanlah celoteh camar belaka. Bisa kita lihat bencana banjir bandang dan longsor di mana-mana. Di Sulbar sendiri banjir hampir terjadi di semua kabupaten. "Terlalu banyak air hujan yang jatuh di waktu bersamaan di Sulbar." Kalimat itu menggelitik tapi faktanya dapat kita lihat banjir di sejumlah kecamatan di Polman, di Kalukku dan Simboro Mamuju, di kota Majene, bahkan dua perkampungan di Ulumanda; Tatibajo dan Sambalagia porak-poraknda disapu banjir bandang pada Jumat, 18 Nopember kemarin.

Di berbagai momentum pemerintah kita memang banyak mensosialisasikan apa saja prilaku manusia yang dapat mengundang datangnya bencana-bencana itu. Meski di sisi lain pemerintah jugalah yang justru banyak menjadi katalisator bencana, yang karena atas nama pembangunan mereka merusak ekosistem alam. 

Sebagai contoh, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Bank Negara Indonesia (BNI) justru menjadi penyokong utama proyek energi kotor batubara. Bank milik negara itu harusnya mengarahkan pendanaannya ke proyek-proyek yang rendah emisi yang ramah lingkungan, bukan ke penguraian batubara yang justru telah terbukti memperparah emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Itu baru satu contoh belum berbagai aktifitas pertambangan di seantero nusantara. Semua itu adalah buah dari pemberian konsesi tambang kepada swasta dan asing yang tak pernah terhenti.

Diversifikasi Pangan Lokal 

Di tengah berbagai ancaman di atas, masih ada kabar baik. Hari ini 26 Nopember 2022 sebuah komunitas kecil masyarakat di Desa Tandeallo, Kecamatan Ulumanda, Majene, Sulawesi Barat punya momen euforia "festival budaya". Mereka mengangkat isu ketahanan pangan lokal di tengah ancaman pangan akibat krisis iklim. Kegiatan ini didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program pemajuan kebudayaan desa. Mereka punya penggerak lokal bernama daya desa yang secara independen menggali dan mengekspos segala potensi kebudayaan di desa.

Saya medapat banyak kiriman foto dan video dari kawan-kawan penggerak di tanah kelahiran saya itu. Sejumlah gubuk-gubuk ladang dibangun untuk merefleksi era 70 hingga 90an, dimana orang-orang kampung sangat original kala itu. Mungkin 90 persen makanan bengantung dari hasil kebun atau ladang mereka saat itu. Mereka mampu bertahan bahkan surplus beras. Dan hari ini ratusan orang di Tandeallo berkumpul mengadakan lomba menumbuk padi gunung (lumambuq) yang sangat mengharu melihatnya. Saya sangat menyesal tak bisa hadir menyaksikan langsung sebuah antraksi kebiasaan masyarakat tempo *doloe* yang telah menjadi pertalian jiwa setiap orang di Desa Tandeallo kala itu.

Lomba "lumambuq" itu mengingatkan kita pada masa-masa lalu, dan memikirkan kembali bagaimana orang dulu membangun kemandirian pangan mereka. Saya pikir masih sangat relevan untuk konteks hari ini kita mengkarbit cara-cara orang dulu yang mampu survive dan menjaga hubungan baik dengan alam. Hanya saja perlu perlu dikonvergensi dengan pikiran modern dengan alat-alat kemajuan zaman yang tidak merusak ekosistem alam kita.

Fakta hari ini memang sudah banyak pabrik, kebiasaan menumbuk padi juga banyak yang ditinggalkan karena mesin dan orang dari berladang juga sudah mulai migrasi ke sawah-sawah yang sudah tersedia. Mesin pabrik sudah banyak seiring perkembangan dan akses jalan, energi listrik dan sarana komunikasi yang menjalar hingga ke pelosok-pelosok. Tetapi pasti bahwa masih ada dan sangat patut diapresiasi bagi yang tetap memiliki kebiasaan menumbuk padi gunung. Itu artinya mereka masih bercocok tanam padi ladang. Saya jadi teringat mendiang ibu saya pernah bilang bahwa menanam padi ladang ini tidak boleh dihentikan, sebab dia sesuatu yang erat dengan kehidupan. Menanam padi ladang bagi orang-orang dulu rupanya adalah sesuatu yang sakral. Karena padi ladang itu dianggap punya roh dan dia bersaudara dengan manusia. Jika kita memperlakukan padi ladang dengan tidak benar maka akan kualat. Leher kita bisa dicekik oleh sang roh dari padi ladang itu. Maka mulai menanam, merawat, memanen bahkan hingga menyimpannya harus dengan ritual tertentu. Ritual-ritual itu sejatinya tidak patut lagi diyakini tapi kita harus memetik hikmah bahwa perlu memperlakukan mahluk tumbuhan dengan benar, merawatnya dengan bijaksana, pun alam sekitar kita yang perlu kearifan mengeksploitasinya. Di sinilah poin pentingnya bahwa leluhur kita dulu lebih menghargai keseimbangan alam.

Maka sangat tepat festival ini menjadi sebuah kebanggaan karena mengingatkan kita, dan tak boleh menjadi simbolik belaka tetapi kita menaruh harapan besar untuk tetap resesif pada krisis iklim yang mengancam. Kita tetap perlu menjaga kebiasaan menanam padi ladang itu dengan memikirkan metode baru yang lebih modern dan diversifikasi bahan pangan lainnya atau mengkonvergensikan segala potensi pertanian yang dikerjakan secara arif, bijaksana dan toleran pada alam semesta agar kita tidak ikut menimbun emisi gas rumah kaca tetapi tetap survive di tengah krisis iklim dunia dan ancaman resesi ekonomi global. Kita sangat salut kepada mereka yang masih memegang tradisi itu untuk menjaga ketahanan pangan lokal setidaknya mampu berkontribusi untuk menjaga daerah dari inflasi. Dan dari sini, semangat itu perlu diluaskan ke seluruh jagat nusantara.

Selamat dan sukses Festival Budaya Desa Tandeallo. (*)

comments