-->

Hot News

Tolak Perda Miras, GP Ansor: Tidak Sesuai Kultur Masyarakat Majene

By On Minggu, Desember 31, 2017

Minggu, Desember 31, 2017

Foto Ilustrasi (Sumber: beritajatim.com)
MAJENE, MASALEMBO.COM- Upaya Pemerintah Kabupaten Majene untuk menertibkan peredaran minuman beralkohol melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang "Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol" menuai banyak sorotan. Sejumlah kalangan menilai Perda tersebut tidak sesuai dengan kultur budaya warga Majene yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.

Seperti yang dibahas dalam sebuah grup WhatsApp, Majene Info. Dalam grup tersebut tidak sedikit yang mengkritik kebijakan itu karena dinilai tidak sesuai dengan kondisi sosial warga Majene yang penduduknya mayoritas beragama Islam.

Menanggapi hal itu, Marsuki Nurdin selaku Ketua Pansus yang menyetujui Ranperda tersebut mengatakan, Perda itu sejatinya sebagai ruang bagi pemerintah maupun penegak hukum untuk menertibkan penjual minuman beralkohol di Majene.

"Kan selama ini ada atau tidak ada Perda itu, penjual miras di Majene tetap ada, makanya pemerintah mengusulkannya agar pemerintah bisa menindak atau menertibkan penjual maupun para pengkonsumsi miras," ungkap Marsuki saat ditemui di kediamannya, Minggu (31/12).

Namun menurutnya, tujuan utama Perda itu untuk menghapus peredaran minuman beralkohol di Majene. 

"Esensinya sebenarnya untuk meniadakan miras di Majene, karena bagaimana caranya kalau tidak ada penjual yang mampu memenuhi persyaratan, tentu dengan sendirinya mereka akan beralih untuk menjual prodak lain. Dan sekali lagi saya yakin di Majene tidak akan ada yang mampu memenuhi persyaratan Perda itu," sebutnya.

Ia memaparkan, bahwa Perda itu mensyaratkan dua hal yang cukup berat, yakni retribusi tinggi dan harus memiliki tempat tersendiri bagi pelanggangnya seperti hotel dan tempat karaoke. 

"Saya yakin hal itu akan sulit dipenuhi penjual yang hendak mengurus izin. Misalnya, harga miras satu botol Rp. 50.000 saat ini, jika diterapkan maka penjual harus menjualnya pada harga Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000 per botolnya karena retribusi. Tentu penjual akan berfikir untuk menyediakannya karena harga itu," ungkapnya. 

Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa Perda itu diusulkan Pemda ke DPRD sejak tahun 2016 namun baru terealisasi lantaran melalui proses pertimbangan, kajian, dan menunggu rekomendasi dari Kemendagri mengenai aturannya. 

"Sebenarnya dari awal kami sempat berfikir untuk menolaknya, karena dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai persepsi di masyarakat. Namun pihak Pemda saat itu menjelaskan bahwa Perda ini tujuannya supaya ada ruang bagi pemerintah dan penegak hukum untuk melakukan penindakan atau penertiban terhadap minuman beralkohol," ungkapnya lagi. 

Dia mengatakan, dengan lahirnya Perda tersebut pemerintah sudah bisa memberlakukannya untuk menindak warga maupun penjual yang tidak mengantongi izin. 

"Jadi kalau seumpama nanti ada orang minum di pinggir jalan atau dimana saja jika tidak pada tempat yang berizin, maka itu bisa langsung ditindak pihak kepolisian," sebutnya.

Namun demikian, penjelasan di atas tetap sulit diterima sejumlah Organisasi Masyarakat (Ormas) di Majene. Seperti Ormas Laskar Desa dan GP Ansor cabang Majene. Dua Ormas tersebut menilai kebijakan itu tidak sesuai dengan kultur budaya warga Majene.

"Meski tujuan Perda itu demi mencekal penjual miras, namun dilegalkan jika memenuhi syarat, kami tetap tidak bisa menerimanya. Karena itu sangat kontradiksi dengan budaya kita," ujar Suharno, anggota Ormas Laskar Desa. 

Senada diungkapkan M Ma'ruf, Ketua Cabang GP Ansor Majene. Menurutnya, bagaimanapun di mata Islam itu tetap dianggap haram. Namun jika berbicara tentang peraturan pemerintah, seharusnya itu ditinjau lebih dulu mengenai kondisi sosial masyarakat Majene.

"Kan warga Majene masih cukup tradisional, jadi sesuai kajian kami secara internal di organisasi, hal itu tidak sesuai. Kalau memang tujuannya untuk meniadakan peredaran miras, kenapa tidak Perda larangan saja dibuat, kan itu sangat tepat," ungkap Ma'ruf. 

Mengenai soal ketidakmampuan penjual dalam memenuhi persyaratan Perda itu, dia menilai hal itu tidaklah beralasan. Karena kata dia, tidak ada yang bisa menjamin dan mengukur berapa penjual yang mampu memenuhi persyaratan.

"Kan selama ini kita sudah bisa melihat siapa saja yang menjual barang tersebut, dan kebanyakan kan mereka memiliki modal besar. Jadi tidak ada yang bisa menjamin berapa jumlah pengusaha yang mampu untuk sampai pada standar Perda itu," tambahnya. 

Ia menilai, Perda itu terkesan untuk peningkatan PAD melalui retribusi bukan untuk mengontrol moralitas warga dalam mengkonsumsi miras. 

"Kami melihatnya sebagai lokalisasi, yang dari lokalisasi itu diharapkan meningkat PAD dengan mengkomsumsi miras, kami mengkajinya seperti itu," cetusnya. (tfk/har)

comments