-->

Hot News

Ironi dan Alternatif Keserentakan Pemilu

By On Sabtu, Desember 07, 2019

Sabtu, Desember 07, 2019

*Muhammad, S.IP., M. SI 


SEJAK pertama kali diselenggarakan di tahun 1966, sejarah mencatat baru di tahun 2019 Indonesia melaksanakan Pemilu secara serentak. Keserentakan Pemilu ini merupakan muara dari perjuangan gugatan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak terhadap undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal 14 dan pasal 112 yang mengatur pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) tiga bulan setelah pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg). Oleh karena itu undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebagai payung hukum pelaksanaan Pemilu serentak 2019 kemudian memuat pasal 167 ayat (3), pasal 267 (2) dan pasal 347 (1) yang mengatur perihal keserentakan Pemilu. 

Lebih lanjut dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004 dan 2009 yang dilaksanakan setelah Pemilihan Legislatif (Pileg) ditemukan fakta dimana calon Presiden terpaksa harus bernegosiasi dahulu dengan partai politik untuk dapat diusung. Kondisi ini membuat roda pemerintahan dengan semangat sistem presidensil akan banyak terganggu. Hal tersebut karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan tersandera dengan kepentingan partai politik pengusung hasil negosiasi yang terbangun sebelum pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres). 

Sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pemilu serentak akan mengurangi fragmentasi antara eksekutif dan legislatif. Wajar jika banyak argumentasi yang melihat bahwa konsekuensi logis dari dilaksanakannya Pemilu serentak adalah dengan menjadikan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden seharusnya tanpa syarat minimal jumlah dukungan partai politik. Dengan kata lain, Pemilu serentak harusnya membuat presidential threshold menjadi 0 % (nol persen). Hanya saja apa yang diperjuangkan dan seharusnya diwujudkan ternyata tidak selaras dengan apa yang diatur dalam undang-undang Pemilu. Adanya aturan pada undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 222 yang mengatur syarat dukungan bagi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya membuat seakan perjuangan untuk menguatkan sistem presidensial melalui Pemilu serentak seakan mendapatkan hambatan. 

Perjuangan mewujudkan Pemilu serentak adalah untuk menghindarkan Presiden dan Wakil Presiden dari negosiasi kepentingan. Hanya saja dengan adanya ambang batas dukungan partai politik sebagai syarat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, negosiasi tersebut tetap akan ada meski Pemilu dilaksanakan secara serentak.
Adanya ironi tersebut, membuat evaluasi keserentakan Pemilu ke depan perlu dilakukan. Dalam hal ini adalah membuat sejatinya syarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden menjadi 0%. Hal tersebut juga karena mendasari hasil perolehan suara partai politik dan kursi DPR hasil Pemilu sebelumnya pun tidak logis sebab sejatinya syarat tersebut juga telah menjadi syarat yang telah digunakan ketika Pemilu belum dilaksanakan secara serentak di tahun 2014.

Gugurnya KPPS hingga Kanalisasi Opini Publik 

Permasalahan berikutnya yang perlu mendapat perhatian lebih dari keserentakan Pemilu 2019 adalah masalah banyaknya korban sakit bahkan meninggal bagi penyelenggara Pemilu khususnya di level Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain itu, keserentakan Pemilu juga membuat fokus isu kepemiluan di level pemilih sangat didominasi oleh isu seputar persaingan dalam perebutan kursi Presiden dan Wakil Presiden. Adapun isu seputar pemilihan legislatif di pusat apalagi di daerah kurang dibahas sehingga membuat pemilih tidak mengenal visi dan misi kepemimpinan bahkan nama para calon legislatif mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

Kondisi dimana kurangnya perhatian publik dalam mengawal pemilihan legislatif tentu dapat berdampak buruk bagi demokrasi. Fenomena tersebut membuat momentum pemilihan anggota legislatif tidak dimanfaatkan secara maksimal bagi publik untuk melakukan eksplorasi terhadap banyak calon yang ada. Padahal hal tersebut sama pentingnya dalam mengeksplorasi calon Presiden dan wakil Presiden sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat untuk satu periode pemerintahan ke depan. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi dalam memodifikasi berkaitan dengan keserentakan Pemilu. Dalam hal ini diperlukan evaluasi terhadap undang-undang nomor 7 tahun 2017 pasal 167 ayat (3), pasal 267 ayat (2), dan pasal 347 ayat (1) yang mengatur keserentakan Pemilu.

Alternatif Keserentakan Pemilu.

Evaluasi diperlukan untuk memodifikasi model keserentakan dengan tidak menghilangkan esensi dari semangat untuk menguatkan sistem presidensil melalui keserentakan antara Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Evaluasi keserentakan Pemilu 2019 dapat dilakukan dengan melakukan model Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak lokal/daerah. Pemilu serentak nasional yang dimaksud adalah dengan menggabungkan pemilihan DPR, DPD dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun Pemilu serentak lokal/daerah yang dimaksud adalah dengan menggabungkan pemilihan DPRD (Provinsi dan Kabupaten) dengan pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Bupati).

Modifikasi Pemilu serentak nasional akan menyajikan 3 surat suara bagi pemilih, sedangkan Pemilu serentak lokal/daerah akan menyajikan 4 surat suara. Model modifikasi Pemilu serentak seperti ini akan menyederhanakan waktu bagi penyelenggaraan Pemilu sekaligus dapat melakukan kanalisasi konsentrasi isu Pemilu bagi pemilih. Dimana pada saat momentum Pemilu serentak nasional, pemilih akan berfokus pada isu dengan konteks nasional yaitu dinamika isu seputar Pilpres dan siapa dan partai politik mana saja yang layak didudukkan di DPR dan DPD untuk mengawal demokrasi di tingkat pusat.

Adapun pada momentum Pemilu serentak lokal/daerah, pemilih akan berfokus pada isu dengan konteks di tingkat lokal masing-masing. Dimana umumnya isu akan berkutat pada dinamika politik lokal provinsi, kabupaten dan hubungan antara eksekutif dan legislatif di tingkat lokal. Modifikasi keserentakan dengan melokalisasi antara Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak lokal/daerah diharapkan akan meminimalisir korban penyelenggara Pemilu karena surat suara yang dikelola akan lebih sedikit dibanding Pemilu serentak 2019 yang lalu. Sekaligus juga diharapkan ada peningkatan antusiasme pemilih mengawal dinamika politik di daerahnya karena perhatiannya tidak terbagi antara momentum Pilpres dan Pileg di daerahnya. 

*Ketua Program Studi Ilmu Politik Unsulbar Majene


comments
close
Banner iklan disini