MAMUJU, MASALEMBO.COM - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Mamuju kembali menggelar musyawarah penyelesaian sengketa Pilkada antara pihak pemohon dalam hal ini pasangan Tina-Ado dan termohon KPU Mamuju serta pihak paslon Habsi-Irwan, Minggu (04/10/2020).
Dimusyawarah itu, dihadirkan beberapa saksi ahli, seperti Prof. DR. Aminuddin Ilmar, SH. M.H, yang menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Aminuddin mengatakan, sebenarnya mekanisme pengajuan sengketa, dimana jika membaca Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020 dijelaskan ada dua sengketa dalam pemilihan kepala daerah, pertama adalah sengketa peserta dengan penyelenggara dan sengketa antara peserta pemilihan.
Ia menilai, kasus sengketa pemilih yang diajukan oleh pihak pemohon pasangan Tina-Ado adalah suatu kekeliruan.
“Kalau melihat rujukan kasus yang ada sekarang ini, maka sebenarnya kita bisa menyatakan bahwa itu keliru, karena yang dipersoalkan adalah keabsahan surat keputusan KPU, sedangkan untuk mempersoalkan keabsahan sebuah surat keputusan, maka ada tiga parameter yang harus kita gunakan,” kata Aminuddin.
Tiga parameter yang dimaksud diantara adalah, pertama yaitu menurut ketentuan atau konsep hukum administrasi, yaitu apakah tidak cacat kewenangan, kedua tidak cacat prosedur dan yang ketiga tidak cacat subtansi.
"Dalam kaitan SK KPU yang menetapkan pasangan calon kepala daerah maka rujukannya harus kita kembalikan kepada peraturan KPU nomor 9 tahun 2020 tentang pemilihan pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota," katanya.
Aturan itu disebutkan dengan tegas bahwa untuk pengesahan sebagai pasangan calon dari bakal calon menjadi calon, itu harus menelisik, memeriksa, meneliti syarat dokumen yang dipersyaratkan.
Ia mengungkapkan, ada dua syarat dokumen hukum yang dipersyaratkan, yaitu pertama adalah syarat pencalonan dan yang kedua adalah syarat calon.
"Berarti kalau mengacu pada ketentuan disebut sebagai syarat administratif," ucap penulis buku Hukum Mengusai Negara Dalam Privatisasi BUMN ini.
“Untuk bisa kita mengatakan apakah SK KPU itu absah atau tidak, maka kita harus merujuk kepada apakah syarat dokumen pencalonan maupun syarat pencalonan itu sudah sesuai atau tidak, itu kalau misalnya kita mengkategorisasi ada sengketa pelanggaran yang terjadi antara pasangan calon dengan penyelenggara,” sebutnya.
Berbeda lagi kalau sengketa antara peserta, dimana ada salah satu peserta dalam konteks pemilihan kepala daerah itu merasa dirugikan secara langsung atas tindakan, perbuatan peserta pemilihan lainnya.
"Jika merasa dirugikan, apalagi kalau terkait dengan ketentuan pasal 71 ayat 2 dan 3 Undang - undang Nomor 10 Tahun 2016, maka tentu jalannya adalah dia mengajukan kepada Bawaslu bahwa telah terjadi pelanggaran larangan dan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan undang- undang itu," tuturnya.
Selanjutnya, Bawaslu harus melakukan kajian, apakah betul telah terjadi pelanggaran larangan dan sanksi itu? dan kemudian bisa berakibat pada pembatalan sebagai pasangan calon," tambahnya.
Alimuddin menilai kasus yang saat ini bergulir di Bawaslu yang diajukan oleh pihak pemohon Tina-Ado adalah suatu kekeliruan.
“Jadi, kalau saya melihat kasus yang terjadi sekarang adalah lebih kepada kekeliruan didalam mengajukan yang langsung menuntut, bahwa surat KPU itu sebagai pengesahan pasangan calon itu tidak benar, dalam konteks kita mengatakan SK KPU itu tidak benar, dimana rujukannya cuman dua yakni syarat administratif tidak terpenuhi dan kaitannya juga apakah dokumen pencalonan dan syarat calon itu juga tidak terpenuhi," beber Aminuddin.
Menurutnya, jika dikaitkan dengan pelanggaran, itu dua hal yang berbeda, semestinya diajukan dengan mekanisme lain, bukan dengan mekanisme sengketa antara pasangan calon dengan penyelenggara, tetapi sengketa antara pasangan calon.
Perlu diklarifikasi bahwa pelanggaran tidak masuk kategori menguji sebuah surat keputusan sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020 itu, karena masuk bagian daripada larangan dan sanksi.
“Jika kita melihat syarat keabsahan sebuah surat keputusan, apakah dia memenuhi syarat administrasi atau tidak?, jika dia memenuhi syarat administrasi, maka otomatis surat keputusan itu menjadi sah,” kata Aminuddin.
Jadi tidak boleh dikaitkan adanya pelanggaran atau tidak, karena adanya pelanggaran itu terhadap larangan dan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 2 dan 3 Jo PKPU 9 2020, adalah dua hal yang berbeda yang tidak boleh dicampur adukkan.
"Karena untuk membatalkan sebuah surat keputusan, satu-satunya jalan adalah menguji, apakah syarat administrasi itu terpenuhi atau tidak,” jelasnya.
Apalagi kata Alimuddin, pemohon Tina-Ado meminta diskualifikasi paslon Habsi-Irwan dan itu adalah suatu kekeliruan.
"Jadi apa yang diajukan pihak pemohon tidak memenuhi syarat dan Bawaslu harus menolak," sebutnya.
Bawaslu harus memahami tiga ketentuan, yang pertama adalah ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, dalam pasal 71 ayat 2 dan 3, kemudian yang kedua adalah Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, tentang penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dan yang ketiga adalah PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang perubahan keempat, pemilihan, pencalonan, Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Ia juga meminta kepada Bawaslu agar mampu membedakan sengketa antara penyelenggara dan peserta pemilihan dan sengketa antara sesama peserta pemilihan.
Jika kemudian Bawaslu keliru dalam mengambil keputusan, bagi yang keberatan nanti akan dibawah ke DKPP karena menyidangkan sesuatu perkara yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan menurut norma sebagaimana yang diatur. (dir/red)