-->

Hot News

Pemilihan serentak 2024 dan Ancaman Partisipasi Pemilih

By On Selasa, Februari 15, 2022

Selasa, Februari 15, 2022

Oleh: Firdaus Abdullah Korwil Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat Sulbar/Aktivis Muda Muhammadiyah Sulbar


PEMERINTAH melalui mendagri, Komisi II DPR RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyepakati pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Umum serentak untuk memilih Presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yakni 14 februari 2024. Sedangkan pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024.

KPU harus terus mengajak masyarakat untuk senantiasa berpartisipasi dalam pemilu dan pemilihan  kepala daerah, agar hal ini dapat menjadi budaya politik dimasyarakat itu sendiri. Budaya partisipasi ini tentunya ditandai dengan kesadaran politik masyarakat yang tinggi. Tidak hanya sekedar menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara, akan tetapi masyarakat betul-betul terlibat dalam seluruh tahapan pemilihan nantinya. Seperti terlibat aktif dalam proses penyusunan daftar pemilih saat dilakukan coklist hingga pengecekan nama masyarakat apakah terdaftar dalam Daftar Pemilih  Sementara (DPS) hingga ditetapkan sebagai Daftar pemilih Tetap (DPT).

Di tengah ketidak pastian kapan berakhirnya pandemi covid-19, salah satu tantangan berat yang harus dihadapi adalah tingkat partisipasi pemilih, pengalaman pemilihan sebelumnya  sulitnya menjaga tingkat partisipasi publik di tengah pandemi covid-19. Tentu selain keselamatan masyarakat juga menjadi perhatian adalah mobilisasi pemilih; baik pada saat kampanye maupun ke TPS. Rendahnya partisipasi publik akan menyebabkan pemilu kehilangan legitimasi dan tentu berdampak pada kualitas demokrasi. Kualitas demokrasi diantaranya dapat dilihat secara kuantitas dengan angka partisipasi pemilih.

Kedepan politisi dan tim paslon mereka akan datang kedesa-desa mengenalkan diri sekaligus membentuk tim sukses, tentu para caleg maupun paslon ini satu sama lain bersaing untuk bisa memastikan dapat terpilih sebagai wakil rakyat ataupun kepala daerah terpilih. Tingkat partisipasi pemilih tentu akan berbeda baik konstentasi pemilu maupun pilkada, partisipasi warga baik di pemilu maupun pilkada sangatlah penting bagi masa depan demokrasi.

Meningkatnya politik uang, apalagi  jika situasi pandemi covid-19 jelang pemilu serentak 2024 tidak menentu, tentu ruang gerak masyarakat tetap akan terbatas hal ini tentu dapat mengakibatkan penghasilan akan menurun. Politisi atau paslon akan lebih leluasa untuk dapat menawarkan imbalan seperti uang dalam rangka mencari dukungan politik masyarakat dan mengajak warga untuk hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS)

Sebagai pemilih, penulis mendorong untuk tetap mengedepankan semangat dan optimisme yang kuat demi suksesnya pemilihan yang berkualitas dan berintegritas. Sebab pemilu serantak 2024 mendatang sejatinya bukan hanya sebagai ajang seremonial belaka untuk memilih wakil rakyat dan juga kepala daerah tetapi juga harus dapat betul-betul menghasilkan pemimpin yang dapat mensejahterakan rakyatnya.

Ada tiga aspek ancaman partisipasi pemilih pemilu kedepan yakni   aspek peserta pemilu (Caleg dan atau Paslon), aspek teknis dilapangan, dan aspek pandemi covid-19. Pertama, aspek peserta pemilu (caleg dan atau paslon). Aspek ini dapat menjadi ancaman terhadap partisipasi pemilu kedepan, mengingat saat ini masyarakat telah memiliki kesadaran politik atau berdemokrasi. Hal ini berkaitan dengan keterbukaan partai politik dalam menjaring atau merekrut caleg atau pasangan calon kepala daerah. Sebagai institusi politik demokratis, partai politik memiliki posisi yang sangat penting di negara-negara demokrasi. Partai politiklah yang dapat memastikan kelanjutan demokrasi suatu negara. Sehingga masyarakat tentu tidak akan mudah begitu saja memilih kandidat yang di tawarkan oleh partai politik jika proses penentuannya saja tidak terbuka atau tidak transparan. Jika demikian masyarakat tidak puas tentu masyarakat akan memilih politik “Golput” atau tidak memilih di hari pemungutan suara. Kedua, aspek teknis lapangan. Artinya menyangkut hal-hal teknis kepemiluan di lapangan. Hal ini terjadi ketika masyarakat yang terdaftar dalam DPT akan tetapi tidak dapat menggunakan hak pilih dengan alasan misalnya tidak berada di tempat (misalnya bekerja, dan lain sebagainya). Ketiga, aspek pandemi covid-19. Aspek ini dapat dimasuk kategori ancaman partisipasi pemilih jika keadaan covid-19 tidak menentu hingga di hari perhitungan suara. Tentunya variabel ini akan tetap mempengaruhi psikologi pemilih.

Masyarakat ikut berpartisipasi bukan sekedar seremoni dan sombolisasi bahwa rakyat terlibat dalam proses demokrasi. Sebab berpartisipasi adalah identitas perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan sebagai manusia. Berpartisipasi menjadi aktivitas paling humanis yang mengambarkan kekuatan masyarakat untuk membebaskan diri dari diskriminasi dan perilaku elits.

KPU tentu perlu memperkuat komunikasi dan membangun relasi ke simpul-simpul masyarakat, khususnya tokoh agama/masyarakat agar mengajak ummatnya untuk berpartisipasi pada pemilu dan atau pemilihan 2024. (*)

comments