-->

Hot News

Pahlawan Yang Memilukan

By On Kamis, Agustus 26, 2021

Kamis, Agustus 26, 2021

Ilustrasi [ist]


SEJARAH peradaban umat manusia telah mencatat peran guru terhadap bangkit dan majunya suatu bangsa. Kita belajar dari bangsa Yunani adalah bangsa ambisius dan sejarah mereka penuh tindakan heroik dan peristiwa menggemparkan. 

Yunani mempunyai dua kota yang sangat populer yaitu Athena dan Sparta. Di dua kota ini terbentuk peradaban yang berbeda dan juga berkembang standar pendidikan yang sangat berbeda. Cita-cita Athena, pendidikan, politik, dan moral berbeda dengan cita-cita Sparta. 

Di Athena cinta kebebasan, cinta ilmu pengetahuan, memuliakan guru, cinta keindahan dan saling bergandengan. Karena itu di Athena menghasilkan orang-orang  hebat yang menjadi guru dunia seperti Pericles, Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) bahkan kelak orang Athena-lah yang membangun pondasi kemajuan peradaban bangsa Roma. 

Di masa kekaisaran Augustus Roma mulai sadar pentingnya pengembangan intelektual dan estetika. Karena itu orang Roma membawa guru-guru dari Athena dan mengirim pemuda untuk belajar ke Athena. Berkat pengiriman guru maka lahirlah guru yang nantinya membawa peradaban keemasan bangsa Roma seperti Cicero (106-43 SM), Seneca (3 SM-65 M), Quintilan, melalui sekolah-sekolah yang didirikan. Berbeda dengan di Kota Sparta yang hanya mengutamakan pendidikan fisik untuk masuk milliter. 

Kepeloporan guru juga bisa dilacak dalam sejarah peradaban Jepang. Tanggal 6 Agustus 1945 Pasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat menjatuhkan bom atom uraniunm jenis bedil (Little Boy) di kota Hirosima yang menewaskan 90.000-146.000 orang di Hiroshima. Tiga hari kemudian pasukan tersebut kembali menyerang pada tanggal 9 Agustus yang menjatuhkan bom atom plutonium jenis implosi (Fat Man) di Nagasaki menewaskan 39.000-80.000 korban. Jepang pada saat itu lumpuh total bahkan beberapa literatul menyebutkan butuh 50 tahun karena efek radiasi untuk bangkit dari keterpurukan. 

Kemudian Kaisar Hirohito mengumpulkan para Jenderal yang masih tersisa lalu bertanya “Berapa jumlah guru yang tersisa?”. Para jenderal menjawab dengan tegas kepada Kaisar bahwa mereka mampu menyelamatkan dan melindungi Kaisar tanpa bantuan guru. Lantas, Kaisar Hirohito berkata, “Kita telah terjatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak belajar bagaimana kita mengejar semua itu? Maka dikumpulkanlah guru dari semua pelosok kota dengan guru menjadi tumpuan harapan Jepang segerah bangkit. 

Betapa bernilainya guru di mata Kaisar. Jepang menjadi negara maju bangkit hanya dalam kurun 20 tahunan, 50 tahunan lebih cepat dari prediksi dunia. Sejarah ini menambah bukti dan sebagai ilustrasi bahwa kemajuan suatu bangsa, mutlak memerlukan guru.  
Di Indonesia sendiri pada abad ke-19 guru menjadi pelopor dan memprmosikan wacana kemerdekaan serta kemajuan dengan  alasan, profesi guru menghimpun porsi yang terbesar dari orang-orang pribumi yang berpendidikan terbaik dan sebagai para pendidik mereka adalah pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya.

Kaum gurulah yang pertama kali mempromosikan gerakan kemajuan, kaum guru pula yang mempelopori pembentukan ruang-ruang publik modern (media cetak dan klub-klub sosial) di lingkaran komunitas Bumiputera. Beresonansi dengan kaum guru di sekolah pemerintah, kaum guru dalam jaringan pendidikan agama memperluas cakupan ruang publik modern itu dengan mendirikan berbagai jaringan sekolah agama bergaya baru (madrasah), rumah-rumah penerbitan hingga melahirkan klub dan perkumpulan (perserikatan) modern, yang memperluas kesadaran emansipasi sosial. Singkat kata, pada tingkat emrional, pergerakan kaum gurulah yang membuka jalan bagi kebangkitan nasional yang mendorong perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Oleh karena itu bisa disebut penyebab utama belum majunya bangsa Indonesia saat ini karena belum mampu menghargai dan memuliakan para guru. Menurut Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) sampai tahun 2020 jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang. Dari jumlah tersebut 728.461 diantaranya berstatus guru honorer sekolah.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional  (Sisdiknas) Pasal 39 Ayat 2 jabatan guru dinyatakan sebagai jabatan professional. Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Juga UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada pasal 4 menempatkan guru sebagai tenaga profesional sangat urgen karen fungsi untuk meningkatkan martabat guru sendiri dan meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Menjadi pengetahuan bersama bagaimana perlakuan guru honorer dengan tugas yang mulia di negeri ini. Tidak sedikit kita menyaksikan secara langsung maupun melalui media potret penindasan guru honorer. Insentif tidak sesuai dengan beban kerja bahkan ada yang tidak mendapatkan insentif sama sekali, jaminan kesehatan nihil dan tunjangan keluarga tidak ada. Jika dibandingkan dengan guru PNS tentu ini diskriminatif. Mirisnya lagi, kalau dulu guru adalah profesi mulia dan dimuliakan sekarang di kalangan masyarakat profesi guru terlebih jika  status honor menjadi profesi yang hina dan memalukan. Tidak salah kita katakan di negeri ini, guru adalah pahlawan yang memilukan.

Maka pemerintah harus hadir memberikan perhatian serius terhadap kesejahteraan guru dan menjadikan guru adalah profesi mulia sama dengan profesi lainnya seperti dokter, pengacara, polisi dan lain-lain.

Berikut ini adalah kisah guru honorer yang di daerah saya. Ia adalah Kaharuddin guru honorer SDN 35 Coci Desa Banua, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene. Kaharuddin harus menempuh jarak 30 KM naik motor 1 jam dan dilanjutkan kaki selama 2 jam untuk mengajar karena kondisi jalan ekstrim. Menjadi guru honorer sejak 2008 honor 50 ribu perbulan. Untuk menemui muridnya yang ada di pelosok ia harus memperpataruhkan nyawa menyebrangi beberapa sungai dengan rakit terlebih jika musim hujan. Mirisnya lagi formasi PPPK di sekolah tersebut tidak dibuka dan ia harus mendaftar di daerah lain. Akibatnya jika lulus, sekolah tersebut akan kosong karena ada 8 guru hanya 2 guru PNS selebihnya guru honor.  

Oleh karena itu pemerintah harus komitmen menyelesaikan persolan ini melalui regulasi dan perencanaan yang baik. Kesejahteraan guru honorer harus menjadi prioritas utama. Pemerataan dan kualitas guru harus diperbaiki, sarana dan prasarana harus diperbaiki. Jika hal ini dilakukan maka pendidikan di Indonesia akan maju. (*)

Penulis: Irwan, Mahasiswa FKIP Universitas Sulawesi Barat 

comments