-->

Hot News

MENJAGA DEMOKRASI

By On Selasa, Januari 11, 2022

Selasa, Januari 11, 2022

Oleh: Muhammad Gaus


BANYAK Negara menggunakan demokrasi sebagai sistem yang mereka percaya untuk melangsungkan hidup berbangsa dan bernegaranya. Tentu setiap pilihan itu akan memilki konsekuensi, seperti halnya memilih demokrasi sebagai sistem bernegara. Masing-masing negara telah mengalami dinamika, ada yang berjaya, bahkan ada  yang terkesan salah dalam menentukan pilihan. Banyak Negara bisa merawat, juga tak jarang ada yang kecolongan tidak bisa menjaga gerbang demokrasinya.

Demokrasi selalu menawarkan berbagai macam kemungkinan sehingga berbagai hal pun bisa terjadi. Kemungkinan yang dimaksud selalu bergerak dalam posisi opisisi biner, artinya kalau bukan kemungkinan baik, tentu kemungkinan sebaliknya. Tantangan, telah terpangpang jelas di depan mata. Lantas  apa yang bisa dilakukan untuk menjaga demokrasi?

Serangkaian fakta telah tertulis dalam sejarah bahwa praktek demokrasi tidak semudah mendefenisikannya. Banyak negara gagal dalam menjaga demokrasinya, tentu dengan alasan yang berbeda-beda. 

Menurut Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, selama perang dingin hampir tiga dari empat kehancuran demokrasi di suatu negara disebabkan oleh kudeta seperti yang terjadi di Argetina, Pakistan, Guatemala dan lan-lain.

Pasca perang dingin, kudeta tidak lagi menjadi  gerakan populer di kalangan kelompok anti demokrasi dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang demokratis. Pasca perang dingin hingga sekarang, yang banyak menghancurkan demokrasi adalah negara di tangan pemimpin terpilih. Ia membajak proses yang membawanya kekursi kekuasaan. Menurut saya Praktek itu bisa saja mulai dari unit terkecil dalam suatu negara misalnya dimulai dari praktek politik lokal. Sehingga implikasinya demokrasi tegerus pelan-pelan dalam upaya-upaya yang hampir tidak terlihat.

Kadangkala kita terjebak dalam pernyataan bahwa pemilihan umum adalah parameter untuk mengukur kualitas demokrasi, tetapi di sisi yang lain ada potensi dari berbagai pihak untuk membajak proses itu. Kelompok-kelompok ektremis anti demokrasi harus diyakini bahwa, selalu ada di setiap tempat, tetapi sukar terdeteksi sebab seolah-olah mendukung proses demokrasi, tetapi boleh jadi mereka mempersiapkan momentum untuk membajak demokrasi suatu negara.

Kita memang harus selalu optimis dengan proses pemilihan yang setiap lima tahun dalam satu periode selalu terselenggara, sebagai upaya untuk menyeleksi pemimpin yang terbaik untuk mengurus negara. Tapi kita juga harus bersiap jangan sampai dibalik proses tersebut yang selalu disebut ‘’pesta’’ justru menjadi pintu utama kemunduran demokrasi.

Semua kalangan harus bersiap, terutama elit politik, terkhusus partai politik yang secara khusus menyeleksi dan merekkrut calon pemimpin yang kemudian diperlihatkan ke khalayak publik untuk dipilih dalam pemilahan umum. Untuk menjaga demokrasi, partai politik harus beperan aktif jangan sampai orang-orang yang anti demokrasi dibiarkan lolos menjadi calon. Hal demikian akan berakibat fatal apalagi kalau ia sampai terpilih seperti yang terjadi di beberpa negara. 

Akan menjadi bumerang buat negara bersama masyakat ketika preferensi menyeleksi calon oleh partai politik hanya didasarkab pada potensi keterpilihan yang besar. Ada dua hal yang jauh lebih penting untuk diperhatikan partai ketimbang kepupuleran seseorang dan potensi keterpilhan antara laian: 

Pertama, memilih calon yang paling baik untuk mewakili para pemilih partainya. Poin utamanya adalah partai sebagai penjaga gerbang demokrasi harus memilih calon pemimpin yang berkualitas dan piur kader partai, bukan figur yang muncul secara tiba menjelang pemilu. Kedua, merujuk pada pandangan ahli poliik James Cesar peran ‘’penyaring’’, artinya menyisikan mereka yang mengancam demokrasi dan tidak cocok memegang jabatan.

Mengapa penting bagi partai untuk mempriorotaskan menyeleksi kader partai yang berkualitas karena secara efektif akan memberlakukan apa yang disebut tinjauan sejawat. Orang atau kader-kader yang akan diseleksi menjadi calon, sejatinya telah dikenal di dalam partai masing-masing sehingga partai dengan mudah mengukur kualitas, sifat, bagaimana ia bekerja di bawah tekan dan poin-poin pendukung lain yang bisa dirumuskan untuk memilih calon yang diharapkan. 

Partai harus berdiri mejadi garda terdepan untuk menyingkirkan kalangan ektremis yang bisa membuat demokrasi keluar jalur harapan dan cita-citanya. Oleh karenanya melemahkan partai politik berarti melemahkan demokrasi. Tapi perlu dicatat bahwa, sepenuhnya mengharap partai sebagai satu-satunya penjaga demokrasi dari ancaman kalangan demagog dan ekstremis yang anti demokrasi adalah keliru. 

Akhirnya, masyarkat sebagai penentu akhir harus kembali menyaring calon yang tersedia jangan sampai setelah partai kecolongan, masyarakat juga ikut kebobolan. langkah yang mesti dilakukan adalah mengenali ciri orang yang ektremis dan calon demagog. Ahli politik Juan Linz telah memaparkan empat hal terkait perilaku yang bisa membantu kita mengenali tokoh yang anti demokrasi: 1. Menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan, 2. Menyangkal legitimasi lawan, 3. Menolrenasi atau menyerukan kekarasan, 4. Menunjuk kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. 

Ketika kecenderungan ini telah di pertontonkan maka kita bisa menyisihkannya lewat kertas suara. Sedini mungkin harus sadar untuk tetap menjaga keutuhan demokrasi karena erosi demokrasi betul-betul tak kasat mata. (*)






comments