Oleh: Nurfadilah Mahmud, S.Pd, M.Pd
SEBAGAI upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, konsep pembelajaran berdiferensiasi semakin mendapat perhatian. Hal ini sejalan dengan penerapan Kurikulum Merdeka yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim. Kurikulum Merdeka sendiri dirancang untuk menciptakan pendekatan pendidikan yang lebih kontekstual dan responsif terhadap kebutuhan siswa. Dalam konteks ini, pembelajaran berdiferensiasi merupakan metode yang bertujuan untuk memenuhi beragam kebutuhan, minat, dan gaya belajar setiap siswa, yang penting untuk menciptakan pengalaman belajar yang efektif dan bermakna.
Terkait pembelajaran berdiferensiasi, kami telah melakukan mini riset yang berfokus pada persepsi Guru SMK terhadap pembelajaran berdiferensiasi pada mata pelajaran matematika. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana guru-guru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menerapkan konsep pembelajaran berdiferensiasi dalam pengajaran matematika. Kami melakukan wawancara semi terstruktur dengan tiga guru matematika di SMK di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Proses ini berlangsung pada Oktober 2024 dan diarahkan untuk memahami tantangan serta manfaat dalam penerapan metode ini.
Melalui wawancara, guru-guru mengemukakan bahwa pembelajaran berdiferensiasi memberikan mereka kesempatan untuk lebih memperhatikan dan memenuhi kebutuhan individual siswa. Hal ini membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. Namun, riset ini juga menemukan bahwa banyak guru menghadapi berbagai kendala dalam implementasinya. Antara lain adalah minimnya pelatihan yang memadai, keterbatasan waktu, serta akses ke sumber daya pendidikan yang cukup, seperti internet.
Salah satu guru di SMK 7 Kabupaten Majene, Syamsul, menyatakan bahwa pembelajaran berdiferensiasi dapat meningkatkan keterlibatan siswa, tetapi tantangan yang dihadapi, seperti kurangnya akses ke sumber daya, perlu dicari solusinya. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada potensi besar dalam penerapan metode ini, tantangan yang ada harus diatasi agar semua siswa dapat merasakan manfaatnya.
Guru SMK 8 Sulbar, Nurfadilah Jalil juga mencatat kendala utama pembelajaran berdiferensiasi adalah sumber daya, tak terkecuali sumber daya pendidik. Banyak guru yang belum memahami penggunaan alat sebagai media atau daya dukung pembelajaran berdifrensiasi. Sebagai contoh guru-guru "golongan tua" yang tidak melek penggunaan komputer, aplikasi pada smartphone dan alat-alat pendukung lainnya. Mereka sulit memenuhi tuntutan pembelajaran berdiferensiasi terutama di SMK yang lebih banyak praktek.
Untuk lebih jelasnya, kami mencoba merangkum beberapa tantangan pembelajaran berdiferensiasi di SMK di Sulawesi Barat.
1. Beban guru yang tinggi dan jumlah siswa yang banyak
Banyak guru SMK mengajar lebih dari satu rombongan belajar dengan jumlah siswa 30–40 siswa atau lebih. Hal ini membuat guru kesulitan menyusun strategi belajar yang berbeda sesuai minat bagi setiap siswa dalam waktu dan sumber daya yang terbatas.
2. Minimnya pemahaman dan pelatihan guru
Belum semua guru memahami secara utuh konsep pembelajaran berdiferensiasi. Banyak guru SMK lebih fokus pada pencapaian target kurikulum atau keterampilan teknis/produktif, dan kurang diberi pelatihan tentang pendekatan pedagogi seperti diferensiasi.
3. Variasi kesiapan dan gaya Belajar siswa
Siswa SMK datang dari latar belakang yang sangat beragam secara akademik, sosial, dan budaya. Ada yang cepat menangkap teori, ada yang lebih cocok praktik langsung. Tanpa pendekatan yang tepat, siswa yang kurang cepat akan tertinggal atau kehilangan motivasi.
4. Keterbatasan fasilitas dan media belajar.
Banyak SMK, khususnya di daerah, tidak memiliki cukup fasilitas dan bahan ajar yang fleksibel untuk mengakomodasi diferensiasi. Misalnya, jika ingin membuat proyek kelompok berdasarkan minat/kekuatan siswa, alat dan bahan praktik sering tidak memadai.
5. Siswa kurang terbiasa dengan belajar mandiri
Banyak siswa SMK terbiasa dengan pembelajaran satu arah (konvensional). Ketika diminta memilih cara belajar sendiri (misalnya: membuat proyek, diskusi kelompok, atau penugasan pilihan), mereka bingung atau pasif karena belum terbiasa.
6. Fokus kurikulum pada kompetensi kerja
Kurikulum SMK sangat menekankan kompetensi kerja sesuai bidang keahlian, sehingga guru sering merasa harus mengejar ketuntasan materi teknis, bukan pendekatan personal terhadap siswa. Akibatnya, pembelajaran berdiferensiasi dianggap “tidak praktis” atau “tidak relevan”.
7. Keterbatasan perangkat evaluasi individual
Banyak guru masih menggunakan penilaian seragam (misalnya ujian tulis), bukan penilaian yang menyesuaikan dengan gaya belajar dan kekuatan siswa (misalnya proyek, portofolio, unjuk kerja).
Contoh Konkret Tantangan
Misalnya di jurusan Teknik Kendaraan Ringan Otomotif (TKRO). Ada siswa yang cepat menangkap teori mesin, tapi kurang percaya diri dalam praktik bengkel. Ada juga yang sangat terampil praktik, tapi kesulitan memahami manual berbahasa Inggris. Di sini guru butuh waktu, alat, dan strategi berbeda untuk membantu dua tipe siswa ini yang tidak mudah di kelas besar tanpa dukungan.
Pada akhirnya, kami menyadari bahwa riset ini memotret kondisi ril di dalam pendidikan terutama SMK. Maka kita berharap dapat menjadi catatan penting untuk acuan bagi pengembangan kurikulum dan kebijakan pendidikan yang lebih baik. "Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan fleksibel, kami percaya bahwa pendidikan di Indonesia bisa lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan semua siswa.
Melalui penelitian ini diharapkan ada upaya untuk memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan, dengan harapan bahwa pembelajaran berdiferensiasi dapat diimplementasikan secara lebih luas dan efektif dalam kurikulum yang sedang berkembang.
Kami berkesimpulan bahwa penting memahami persepsi guru dalam praktik pembelajaran berdiferensiasi. Dengan mendalami tantangan dan manfaat yang ada, diharapkan pendekatan ini dapat semakin dioptimalkan dalam reformasi pendidikan di Indonesia, mewujudkan pengalaman belajar yang lebih baik bagi semua siswa. Pembelajaran bermakna, inklusif, dan kontekstual adalah kunci untuk menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan. (*)
Penulis adalah dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sulawesi Barat.