-->

Hot News

Media Massa di Tahun Politik dan Fenomena Baru Jurnalisme Kuning

By On Selasa, Juli 24, 2018

Selasa, Juli 24, 2018

Harmegi Amin*)

Media sebagai ruang dialog membutuhkan landasan filosofis independen dan landasan praktis netralitas yang perlu dijaga. Tanpa itikad baik pengelola media untuk menjaga martabatnya seraya memenuhi kepentingan bisnisnya, bisa diprediksi kualitas pers sebagai pilar keempat demokrasi akan berjalan secara absurd. 

Lalu apa landasan filosofis independen dan praktis netralitas yang perlu dijaga itu? 

Sejatinya kita akan mengeja kembali filsafat media untuk mengurai benang merah posisi idependensi-netralitas media massa di tengah gelombang arus kepentingan ekonomi-politik yang carut marut, penuh hiruk-pikuk ini.

Secara umum ketika bicara filsafat media, tentu di dalamnya mencakup materi etika dan filsafat atau ethics and philosophy of mass media. Ia juga bicara soal tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility, termasuk konstruksi realitas sosial media, politik ekonomi media, kapitalisme dan hegemoni media, development of communication technology, independensi dan termasuk aturan-aturan tentang media.

Cakupan ini sangat luas dan agar tidak "liar" penulis akan fokus pada politik ekonomi media dihubungkan dengan momentum Pemilu 2019 (tahun politik). 

Sebagaimana lead di atas digambarkan bahwa kepentingan ekonomi adalah sebuah niscaya dalam bisnis media massa. Landasan konstitusional juga jelas memberikan keabsahan pengelolaan ekonomi Mass Media. Kita bisa membaca di poin ke 5 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 (fungsi pers); sebagai lembaga ekonomi media tak haram menjadikan pembaca sebagai pangsa pasar untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Tetapi kemudian jadi bias ketika area publik tidak dapat memberikan value ekonomis untuk media. Kekhawatiran ini muncul seiring massifnya hegomeni politik pemilik media yang rangkap di ruang pragmatis kekuasaan. Lihat misalnya ketika Pemilu dan Pilpres 2014, posisi media massa mayoritas mengikuti alur politik para pemilik medianya. Dan tentu berdampak signifikan terhadap arus polarisasi publik yang terbangun dari preassure issu di media massa yang terpola itu. Fenomena ini boleh jadi kembali terulang di Pemilu dan Pilpres 2019 hingga jargon "independen" dalam media menjadi sesuatu yang utopis.

Independensi Media

Independensi media bisa dimaknai sebagai sikap untuk tidak mengikutsertakan kecenderungan pribadi wartawan atau pengelola media dalam proses memotret serta mengekspose sebuah pemberitaan. Sikap ini sebenarnya amat pribadi dan pasti hadir pada setiap benak manusia termasuk wartawan atau pengelola media.

Independensi diterjemahkan sebagai sebuah kerja yang bebas kepentingan, netral sepenuhnya, obyektif serta melihat peristiwa secara makro. Memang dalam wadah organisasi media yang seringkali bersifat birokratis dan hierarkis sulit dicapai. Tetapi sejatinya media yang bisa meraih kepercayaan publik adalah mereka yang mendedikasikan kerja profesionalismenya pada kepentingan publik. Di sinilah pentingnya menyalakan "pagar api" dalam bermedia agar publik tidak buang muka dari berita yang disajikan.

Fenomena Baru Jurnalisme Kuning

Bisa dibilang bagian antiklimaks dari teori independensi media adalah jurnisme kuning. Defenisi Jurnalisme kuning atau sering juga disebut koran kuning diuraikan Frank Luther Mott (Dalam Nurudin: Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009), yakni jenis jurnalisme dengan judul-judul berita yang bombastis, tetapi setelah dibaca isinya tidak substansial. Jurnalisme kuning adalah jurnalisme pemburukan makna. Ini disebabkan karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada berita-berita sensasional daripada substansi isinya. Tentu saja, karena tujuannya untuk meningkatkan penjualan, orderan atau karena kehendak pragmatis wartawan dan si pemilik media. Ia sering dituduh jurnalisme yang tidak profesional, dan tak beretika. Karena yang dipentingkan adalah bagaimana caranya kelompok masyarakat tertentu suka pada beritanya. Perkara ia diprotes oleh kalangan lain, disenangi atau tidak, bermanfaat untuk publik atau tidak, tidak akan bergeming. Perkara isinya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, itu soal nanti. Pendek kata tidak profesional.

Bahwa jurnalisme kuning banyak membelit media di daerah ini tak bisa dielak. Buktinya ketika Dewan Pers mengungkap sejumlah media abal-abal yang mewarnai perhelatan pilkada di sejumlah daerah, salah satunya di Jawa Barat. Diantaranya yang ditemukan di Cirebon, Kuningan, dan Bekasi. “Praktek abal-abal, media yang tidak jelas, media melanggar etik, dan medianya bekerja menjadi bagian dari timses pasangan calon di pilkada. Itu terjadi,” kata Ketua Dewan Pers Josep Adi Prasetyo, dikutip Tempo, Selasa, 10 April 2018.

Jurnalisme kuning juga menemukan wajah baru yang lebih transparan yakni "online". Orientasi lahirnya berita dari praktek jurnalisme kuning berbasis online tersebut semata untuk memuaskan orang dan kelompok tertentu. Isinya lebih banyak pencitraan dan proses penghakiman orang lain tanpa menimbang efek publik (pembaca). Mengapa jurnalisme kuning kini lebih banyak tersaji dalam berita online? Karena secara praktis jauh lebih mudah dan ringan. Dengan hanya berbekal gadget dan media sosial, lalu membuat portal orang lebih mudah mendapat dan mengelola informasi meski tak sesuai standar dan rambu-rambu jurnalistik. Selain itu media arus utama juga lebih selektif menjaring opini politik yang kemudian menjadikan para politisi dan pemilik kepentingan melirik media online sebagai senjata. 

Di daerah, media massa kuning ini banyak digunakan sebagai sarana komunikasi politik karena dianggap sebagai mesin pembujuk yang sistematis dan berpengaruh. Para politisi selalu tidak ketinggalan memanfaatkan media sebagai saluran komunikasinya. Demikian sebaliknya, media massa menjadikan momentum politik, seperti pilkada, sebagai pasar menggiurkan.

Makanya, kemudian Dewan Pers Indonesia, membagi tiga golongan media massa. Pertama adalah media profesional, kedua adalah media partisan, dan ketiga media abal-abal. Di setiap momentum Pilkada, kemunculan media partisan dan abal-abal ini adalah fenomena yang sulit dibendung. 

Pada akhirnya mengidealkan posisi media yang netral dan independen kadang terasa amat berat bahkan utopis, ketimbang bisnis yang berorientasi profit yang sulit dielakkan. Namun, posisi media khususnya di tahun politik bisa dicari dengan jalan "kompromistis" dan tetap menjaga isi pemberitaan yang mendekati netral dan independen, dengan tetap mampu mengemas berita yang bernilai ekonomi tinggi. 

*) Pemimpin Redaksi masalembo.com/Ketua Devisi Organisasi AJI Kota Mandar

comments