-->

Hot News

Buya Hamka: Usai Shalat, Otak dan Tulisan Wartawan Lebih Tajam

By On Rabu, Desember 12, 2018

Rabu, Desember 12, 2018

Buya Hamka (inet)

MASALEMBO.COM - Di dunia jurnalistik, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan Buya Hamka, bermula meniti karirnya sebagai seorang wartawan. Pada 1930-an, di Kota Medan, beliau bekerja untuk Pewarta Deli, surat kabat pimpinan Adinegoro.

Di Pewarta Deli, Hamka sekantor dengan Matumona alias Hasbullah Parinduri penulis roman Pacar Merah. Kemudian hari, pendiri perguruan Islam Al-Azhar itu memimpin surat kabar Panji Masyarakat.

Suatu hari Buya Hamka bicara di hadapan para wartawan. Apa yang disampaikan ideolog Muhammadiyah itu masih diingat betul oleh Harmoko, mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kata Buya, wartawan adalah profesi yang selalu memerlukan waktu dan tantangan. Tetapi untuk melakukan ibadah, untuk melakukan sembahyang, bagi wartawan tidak perlu takut waktu.

“Saya tahu, otak wartawan berputar 24 jam. Banyak informasi diserap, banyak kerja yang harus diselesaikan. Namun dengan menyisihkan waktu beberapa saat untuk sembahyang, otak akan lebih encer, lebih tajam dipakainya,” kata Buya sebagaimana ditulis Harmoko dalam Katakan Yang Benar Walau Pahit, termaktub dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat.

Resep dari Buya untuk para wartawan agar tenang hatinya adalah shalat. “Sembahyang bagi wartawan penting demi untuk mengendapkan pemikiran, untuk menenangkan hati,” ucap Buya.

Tanpa menyebut tahun, Harmoko yang juga mantan Menteri Penerangan di era Orde Baru tersebut, menceritakan pertemuannya dengan penulis roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam sebuah acara penyerahan anugerah jurnalistik Adinegoro yang dihelat PWI Jaya.

“Malam itu Buya Hamka nampak segar bugar. Selesai penyerahan hadiah, saya jumpai di dekat pintu keluar. Saya salami beliau. Dengan lirih Buya berkata, saya cinta pada wartawan. Saya mencintai pekerjaan wartawan,” demikian Harmoko.

Sekilas Hamka 

Buya Hamka adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis yang karyanya telah memperkaya khazanah pemikiran Indonesia. Karya sastra pria kelahiran Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 itu telah diangkat ke layar lebar. Yakni, novel “Di Bawah Lindungan Kabah” yang ditulisnya pada 1936.

Buya Hamka wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981, meninggalkan 11 anak. Buya Hamka juga telah menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan.

Hamka selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, ia merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan memiliki penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).
Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan yang sangat inspiratif dan pruduktif. 

Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, Hamka menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura.

Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

Hamka menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang (penulis). Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan. 

Sumber: FORJIM (Forum Jurnalis Muslim)


comments