-->

Hot News

RAKYAT BUTUH SOLUSI NYATA, BUKAN DEFENISI KEMATIAN

By On Kamis, Oktober 22, 2020

Kamis, Oktober 22, 2020

Ilustrasi (inet)

Oleh: Hamzinah, Pemerhati Opini Medsos, warga Passarang Majene.

BIDANG Kesehatan dihebohkan dengan wacana untuk mengubah defenisi kematian Covid-19. Wacana yang bermula dari usulan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa sedianya akan memisahkan data kematian pasien akibat Covid-19 dan yang dikarenakan Komorbiditas alias penyakit bawaan. Wacana ini diharapkan dapat menurunkan angka kematian pasien Covid-19.

“Penurunan angka kematian harus kita defenisikan dengan benar, meninggal karena Covid-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO” kata Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Ekonomi Kesehatan Muhammad Subuh. (Kompas.com, 22/09/2020). 
 
Perubahan tersebut masuk dalam aturan nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 yang ditandatangani Menteri Kesehatan,  Terawan Agus Putranto hari senin 13 Juli 2020. Menanggapi hal ini ahli wabah UI, Pandu Riono mengkritik ia menyebut pemerintah membohongi statistik.

“Itu pembenaran yang salah, Berbohong dengan statistik itu kejahatan. Apapun kondisinya, kalau di rawat karena dugaan Covid-19 baik terkonfirmasi atau tidak tahu harus dianggap kematian karena Covid-19. Sebaiknya pemerintah mengikuti pengertian yang dipakai dunia, semua pasien yang tercatat diduga Corona harus dilaporkan sebagai Kematian Corona,” kata Pandu 22/09/2020. 

Kritik juga datang dari pakar biologi molekuler Ahmad Rusydan Handoyo Utomo,Ph.D. mempertanyakan untuk apa pemisahan tersebut. “Untuk apa? Jadi punya kesamaan antara yang ada komorbid atau tidak, namanya kritis itu perlu ventilator dan kita tahu jarang sekali orang yang punya penyakit diabetes atau hipertensi meninggal dengan jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat," jelasnya dalam program Kabar Malam di kanal Youtube Khilafah Channel. 
 
Kenapa pemerintah malah sibuk mengotak-atik defenisi kematian?  Padahal kasus Covid-19 di Indonesia semakin hari kian bertambah. Bahkan berdasarkan data Jumat 2 Oktober 2020 kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia tembus 10.972 orang. Jawa Timur (Jatim) menjadi penyumbang kasus kematian akibat Covid-19 terbanyak di Indonesia dengan 27 Kasus meninggal harian secara total Jatim memiliki 3.240 kasus kematian. Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 jumlah kumulatif kasus positif  di Indonesia mencapai  295.499 kasus, 221.340 dinyatakan sembuh. (TrimbunPalu.com) 

Kasus Covid-19 sebegitu banyak bukannya diatasi malah urusin masalah defenisi kematian. Di sisi lain Kepala negara malah terus menyuarakan keberhasilan meningkatkan angka kesembuhan, ia menyatakan persentase kesembuhan pasien virus Corona atau  Covid-19 di Indonesia mencapai diangka 73,25%. “Alhamdulillah per 25 September angka kesembuhan kita mencapai 196.000 orang dengan tingkat kesembuhan 73,25%.” Ujarnya saat pembukaan Muktamar IV PP Parmusi. (Okenews, 26/09/2020) 

Rakyat Butuh Kerja Nyata

Di masa pandemi seperti saat ini, pemerintah harusnya tanggap untuk segera mengatasinya karena dalam kondisi darurat Covid-19 begini rakyat butuh kerja nyata dan kesungguhan pemerintah dengan kebijakan yang benar-benar berorientasi pada keselamatan jiwa bukan hanya keberhasilan pemerintah mengotak-atik data infografis untuk sekedar memperbaiki citra.  

Inilah watak pemimpin dalam sistem sekuler demokrasi kapitalis yang telah menjauhkan peran yang sesungguhnya yaitu periayah (pengatur) urusan umat. Akar persoalannya  adalah sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang tegak hari ini adalah sistem yang fokus mencari keuntungan meski ditengah pandemi. Sistem bidang kesehatan yang buruk di berbagai dunia dimanfaatkan sebagai target bisnis kesehatan yang beromset besar. 

Islam Memberikan Solusi Hakiki
 
Penguasa dalam sistem Islam benar-benar berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat, yang pertanggung jawabannya tak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Penguasa sistem Islam tak akan abai terhadap satupun nyawa rakyatnya. Penguasa sistem Islam memegang amanah berat mengurus umat dan menyejahterakan mereka yakni dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang dan papan. Serta kebutuhan publik seperti pendidikan, keamanan, dan kesehatan. 

Islam telah memberikan jawaban atas penanganan suatu wabah, yaitu dengan memisahkan orang yang sakit dan yang sehat. Sejak awal orang yang sakit segera diisolasi begitupun dengan pintu-pintu penyebarannya, baik di negara atau wilayah asal maupun di wilayah penularan, semuanya harus segera dikunci (lockdown). Strategi mengunci dalam Islam justru merupakan tuntunan syar’i. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasukinya, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu ada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya” (HR. Imam Muslim). 

Keseriusan penguasa dalam melakukan penguncian area wabah pernah ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab saat terjadi Tha’un Amwas di Syam. Beliau rela membatalkan kunjungan ke Syam dan memutuskan kembali ke Madinah guna menghindari paparan wabah yang sedang merajalela di negeri itu agar tidak menyebar kepada penduduk di tempat lain. 

Hanya saja, bersamaan dengan proses ini, negara tentu wajib mendukung segala hal yang dibutuhkan agar wabah segera di eliminasi. Mulai dari dukungan logistik, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, obat-obatan, alat test, vaksin dan lainnya. Bahkan negara wajib memastikan kebutuhan masyarakat selama wabah tetap tercukupi. Negara dan penguasa tak boleh membiarkan masyarakat menantang bahaya hanya karena alasan ekonomi. Demikianlah solusi Islam adalah solusi hakiki yang justru sangat dibutuhkan hari ini. Wallahu’alam bishowwab. (*)

comments