-->

Hot News

Gizi Buruk, Ancaman Serius Masa Depan Sulawesi Barat

By On Sabtu, September 22, 2018

Sabtu, September 22, 2018

Ilustrasi gizi buruk (ist/egi amin)


MAMUJU, MASALEMBO.COM - Kabar duka menyelimuti keluarga Cahya Wulandari, Senin (3/9) lalu. Balita penderita hidrosefalus yang tinggal di Kelapa Tujuh kota Kabupaten Mamuju itu, juga mengalami stunting (kurang gizi kronis). Menurut, Rhena, aktivis Nasyiatul Aisyiah di Mamuju, Cahya meninggal dunia usai dirawat di salah satu Rumah Sakit di daerah ini, bahkan sempat dirujuk ke Makassar Provinsi Sulawesi Selatan untuk berobat. “Sayang penanganannya sudah terlambat,” ucap Rhena.

Selain Cahya, Saparuddin juga divonis mengalami stunting. Namun beruntung balita berumur 5 bulan yang tinggal di Kecamatan Simboro ini ditemukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) saat berkunjung ke Mamuju, Selasa (4/9). Atas bantuan KPAI dan Rhena, Saparuddin beserta kakaknya yang juga mengalami kekurangan gizi akhirnya dapat memiliki kartu JKN-KIS lalu dirawat di Rumah Sakit.

Catatan terakhir adalah kasus Hendrik (2 tahun). Putra ketiga pasangan Mustari (28) dengan Rubiana (30) ini mengalami gangguan gizi. Warga Dusun Saluleang, Desa Salletto, Kabupaten Mamuju ini sejatinya mampu berjalan dan juga berbicara. Namun nyatanya yang tampak dia hanya bisa terdiam, duduk dan berbaring. Kakinya lemah tak bisa menopang tubuhnya yang kurus. Tak jarang ia merintih kesakitan. Dan adalah AIPTU Hamid, petugas Bhabinkamtibmas setempat yang menemukan Hendrik di sebuah gubuk bersama ibu dan tiga saudaranya, amat memprihatinkan.


Balita Hendrik (baju merah) ibunya Rubiana dan dua saudara kandungnya (ist/masalembo.com)

Sejumlah kasus di atas adalah fenomena yang terungkap dari masalah stunting, wasting dan gizi buruk di Sulbar. Oleh Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty terkait stunting di Mamuju, disebut mencapai angka cukup tinggi. Prevalensi 38,2 persen dari standar toleransi WHO sebesar 20 persen pada penduduk umumnya. “Angka ini masih lebih rendah dari rerata prevalensi stunting di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 40 persen,” ungkap Hikmawatty.

Catatan Hikma setelah berkeliling mengunjungi sejumlah tempat dan penyandang stunting (anak tubuh pendek) dan wasting (anak tubuh kurus) di Sulbar, rupaya ada indikasi pembiaran terhadap pemenuhan hak-hak gizi anak. Karena fakta yang ia temukan akses anak ke pelayanan kesehatan kadang masih sulit.


Salah satu temuan Hikma, terdapat keluarga balita stunting dan wasting dalam mendapatkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terkendala kartu identitas, KK dan KTP. Apalagi seperti kasus Saparuddin yang orang tuanya menikah siri.

“Dari pasien atau korban tidak paham bagaimana harus mengurus itu. Institusi-institusi terkait saya lihat sebenarnya memiliki keinginan untuk membantu tetapi tertahan oleh pemahaman bahwa saya kan tugasnya begini, saya tidak begitu,” ucap Hikma, ditemui wartawan masalembo.com di kantor Dinas Sosial Mamuju, Selasa (4/9)

Dirinya berharap, pemerintah daerah baik Pemkab Mamuju maupun Pemprov Sulbar membuka forum dialog lintas sektoral. Tujuannya agar masalah stunting dapat “dikeroyok” instansi-instansi terkait yang memiliki irisan dengan pemenuhan gizi bagi anak-anak. Pun pemerintah pusat, diharapkan aware terhadap masalah anak bangsa ini. “Masalahnya kan kompleks, kemiskinan, pendidikan, budaya, maka stakeholders harusnya bersama-sama mengatasi. Tidak boleh ada ego sektoral dalam menyelesaikannya,” ucap alumni Jurusan Ilmu Gizi Klinik Universitas Indonesia ini.

Harapan Hikma sama dengan Dian Daniati, pengurus Non Goverment Organization (NGO) Perempuan Kartini Manakarra Sulbar. Namun, Dian mengaku tidak yakin hal itu segera terealisasi. Sebabnya bukan hanya sekali dua kali pihaknya mengusul ke pemerintah agar stakeholder bahu-membahu mengurus masalah besar anak-anak di provinsi ke 33 RI ini.

“Saya pernah mengusulkan kepada Dinas Kesehatan agar membuat rencana aksi daerah pengentasan stunting dan gizi buruk. Semua OPD terlibat bekerja secara terpadu, terutama program GSC (Generasi Sehat dan Cerdas), PKH maupun dari Kemendes,” ucap Dian. Lanjut Dian, menemukan anak stunting, wasting maupun gizi buruk tidaklah sulit. Sebab, ada Posyandu dan Puskesmas. “Kan setiap bulan ada penimbangan, masalahnya apakah memang serius menangani atau tidak.”

Hasil penelusuran masalembo.com, didapati data laporan tahun 2017  Pemantauan Status Gizi (PSG) 34 Provinsi di Indonesia. Sulbar menurut data tersebut memang cukup memprihatinkan, berada di urutan tertinggi kedua setelah Nusa Tenggara Timur untuk angka stunting anak usia 0 sampai 23 bulan. Berikut data lengkapnya:
 Sumber: Buku laporan PSG Kemenkes RI 2017

Untuk gizi buruk menurut data di atas (perhatikan yang warna merah), Sulbar juga cukup tinggi 4,9 persen cukup jauh di atas angka nasional 3,5 persen. Beberapa provinsi yang lebih tinggi angka gizi buruk adalah NTT 6,8 persen, Papua 6,5 persen, Kalbar 6,2 persen, Gorontalo 5,5 persen dan Papua Barat 5,1 persen. Namun jika melihat angka gizi kurang (stunting dan wasting) anak balita tidak menutup kemungkinan Sulbar akan berhadapan dengan masalah gizi buruk yang serius. Berikut data gizi buruk dan gizi kurang enam kabupaten di Provinsi Sulbar.

 Sumber: Buku laporan PSG Kemenkes RI 2017

Dari data di atas, Kabupaten Mamuju Utara (Pasangkayu) memiliki angka tertinggi kasus gizi buruk 9,3 persen, kemudian Majene 5,9 persen dan terendah Kabupaten Mamasa 2,1 persen. Sementara angka stunting Mamuju Tengah 20,8 persen kemudian Polewali Mandar 15,5 persen.

Anggota DPR RI yang juga ketua PKK Sulbar Andi Ruskati Ali Baal mengaku telah melakukan banyak upaya menekan angka stunting, wasting dan kasus gizi buruk di Sulbar. Salah satu cara yang ia tempuh adalah mengaktifkan penyuluhan melalui PKK. “Di PKK ada program namanya Dasa Wisma, melalui itu kita sosialisasiikan ke masyarakat, ke ibu-ibu hamil, bahwa menjaga gizi bayi sejak dalam kandungan hingga lahir dan tumbuh begitu sangat penting,” kata Ruskati belum lama ini.

Ruskati membeberkan, PKK mulai dari desa atau kelurahan hingga tingkat provinsi terus mendorong upaya perbaikan gizi anak-anak Sulbar melalui sosialisasi. Minimal dua kali satu bulan, ibu hamil dan balita diajak ke Puskesmas atau Posyandu untuk pemantauan gizi. Sedang ke dokter kandungan bagi ibu hamil, minimal empat kali selama dalam usia kandungan.

Tak henti di situ, Politisi Gerindra yang juga istri Gubernur Sulbar ini mengaku, turun langsung ke lapangan bersama instansi Pemprov Sulbar yang terkait. “Kami sampaikan jika anaknya sudah lahir tolong di-ASI (menyusui, red). Kemundian setelah lahir, di usia 6 bulan diberikan makanan tambahan, 6 bulan sampai 2 tahun harus ASI ekslusif,” ujarnya

Ia mengklaim Pemerintah telah memberikan paket makanan tambahan kepada balita, baik berupa susu maupun biskuit yang juga berfungsi sama sebagai pemenuhan gizi anak. “Kemudian kami katakan harus ber KB supaya tidak hamil lagi karena anaknya masih kecil. Kalau dapat biskuit dari pemerintah tolong dikasih makan, jangan dibuang atau diberikan kepada tamu,” katanya.

Ruskati menuturkan, dirinya dan instansi Pemprov telah melakukan road show ke desa-desa dan kelurahan untuk sosialisasi program Dasa Wisma PKK juga pentingnya mengontrol pemenuhan gizi anak. “Kita juga sampaikan kepada anak-anak agar tidak menikah terlalu dini, saya bilang sekolah dulu, jangan menikah meskipun sudah ada yang melamar,” ucapnya.

Langkah-langkah itu ia sebut tugas dan tanggung jawab dirinya bukan hanya karena Ketua PKK Sulbar tapi juga karena anggota DPR RI dapil Sulawesi Barat. “Kan tidak boleh toh dibiarkan, anggota DPR jangan hanya duduk saja tapi harus turun ke lapangan,” katanya.

Sayangnya, apa yang disampaikan Andi Ruskati sepertinya tidak disambut baik oleh masyarakat, setidaknya masih perlu dikaji ulang. Masalembo.com sendiri mencoba meminta tanggapan publik terkait program Dasa Wisma PKK dengan mengambil narasumber secara acak dan proporsional di enam kabupaten di Sulbar. Wawancara ini dilaksanakan mulai 1 hingga 20 September 2018 dengan teknik isian angket secara online dan juga tatap muka. Dari 20 orang yang diambil keterangannya mulai dari ibu rumah tangga, aparat desa-kelurahan, mahasiswa, dosen, LSM dan wartawan hingga pemerhati pendidikan dan kesehatan, ternyata 70 persen mengatakan tidak melihat bahkan tidak tahu program Dasa Wisma PKK. 90 persen dari mereka mengatakan tahu bahwa Sulbar memiliki angka gizi buruk dan gizi kurang yang cukup tinggi. Kebanyakan dari mereka (50 persen) mengetahui maslah gizi buruk terjadi di Kabupaten Polewali Mandar, selebihnya Majene 15, Mamuju 15 persen dan semua kabupaten di Sulbar. Sangat disayangkan, tidak banyak responden mendengar kasus gizi buruk di Mamuju Utara (Pasangkayu), padahal angka gizi buruk Pasangkayu paling tinggi menurut laporan PSG Sulbar 2017. Menurut sumber media ini (enggan disebut namanya), referensi pengetahuan masyarakat satu-satunya untuk kasus gizi buruk dan gizi kurang adalah media massa, sementara perhatian media khusus gizi buruk di Pasangkayu, nyaris tidak ada.

Sumber: Litbang masalembo.com

Pemerintah desa juga dianggap tidak bekerja dalam hal pengentasan gizi buruk di Sulbar. Padahal, desa dan keluharan disebut Andi Ruskati sebagai basis pemenuhan gizi anak-anak. Berikut tanggapan publik Sulbar:


Sumber: Litbang masalembo.com

Sementara, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi dinilai hampir sama, masih sangat rendah memberikan perhatian terhadap masalah gizi buruk. Dari hasil pengumpulan tanggapan masyarakat, hanya 35 persen mengatakan baik upaya pemerintah setempat menghapus masalah gizi di Sulbar. Sedangkan 50 persen mengatakan tidak peduli sisanya 15 persen tidak tahu. Apresiasi positif publik hanya kepada petugas Puskesmas dan para medis. Berikut datanya.
Sumber: Litbang masalembo.com

Sekedar mengingatkan, tahun 2016 lalu, Kabupaten Polewali Mandar disebut tertinggi angka gizi buruk. Keterangan tersebut dibenarkan Kepala Dinas Kesehatan Sulbar Ahmad Azis menanggapi dua kasus gizi buruk yang terjadi hampir bersamaan pada Oktober 2016 di Polman. Dua anak, yakni Nurmaya dari Tutar dan Mila Tiara dari Tanro Lima Kelurahan Polewali divonis gizi buruk. Di Majene juga demikian, dua balita asal Desa Kabiraan Kecamatan Ulumanda dinyatakan mengalami gizi buruk. Kini keduanya dalam kondisi pertumbuhan normal. Kepala Desa Kabiraan Paharuddin kemudian meraih penghargaan dari Pemkab Majene terkait penanganan gizi buruk.

Terkait perhatian media terhadap isu gizi buruk khususnya di Sulbar. Berikut adalah gambaran dari hasil tanggapan publik yang dikumpulkan masalembo.com
 Sumber: Litbang masalembo.com


Dinkes: Tupoksi Kami Hanya 30 Persen

Dinas Kesehatan Sulbar mengklaim telah memberikan perhatian serius terhadap masalah stunting, wasting dan gizi buruk. Kepala Dinas Kesehatan dr. Ahmad Azis  mengatakan, gambaran masalah ini, dari 10 anak balita di Sulbar, 4 diantaranya mengalami stunting. “Jika ini dibiarkan, tidak menjadi perhatian kita semua, 5 sampai 10 tahun kedepan Sulbar loos generasi,” katanya. Hal ini menurutnya menjadi ancaman serius bagi masa depan Sulawesi Barat. Kadinkes Ahmad Azis mengatakan, "Orang Sulbar banyak yang berhasil, namun di masa depan dengan ada stunting ini menjadi ancaman serius."

Kepada wartawan Ahmad Azis mengaku, telah memberikan makanan tambahan kepada anak-anak di seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat. Makanan tambahan berupa biskuit diberikan melalui Puskesmas. Pemberian makanan tambahan sebagai upaya pemenuhan gizi anak-anak. “Kenapa biskuit, kan anak-anak, tapi kandungannya sudah diatur (sesuai standar gizi),” terangnya.

Selain itu, Kandinkes melakukan edukasi kepada ibu hamil melalui kader Puskesmas. Salah satu ajakan Dinkes meminta ibu hamil mengkonsumsi makanan lokal dan mengkawal kandungan mulai dari awal kehamilan hingga melahirkan.

 Gambar: masalembo.com

 Kendati serius menukit masalah gizi anak-anak di Sulbar, dr. Ahmad Azis mengatakan tugas dan fungsi Dinas Kesehatan terbatas. Bahkan ia menyebut, Dinkes hanya berperan 30 persen. “Penanganan gizi hanya 30 persen oleh Dinas Kesehatan, 70 persen melekat di instansi lain, ketahanan pangan, pertanian, BKKBN, perlindungan perempuan dan anak,” ucapnya.
“Memang ini kerja-kerja bersama, ini yang mau digenjot,” lanjutnya.

Per 18 September bulan ini, Kadinkes melakukan pertemuan dua region, utara dan selatan. Region Utara yakni Kabupaten Pasangkayu, Mamuju, Mateng. Sedang region selatan Majene, Polman dan Kabupaten Mamasa. Forum ini kata Kadindes, akan membahas kelanjutan program penanganan stunting, wasting dan gizi buruk.

"Forum sudah ada tapi tidak ada gunanya forum kalau forum saja, 30 persen dinkes, 70 melekat pada instansi lain. Kalau kita di kesehatan nanti kalau sakit gilirannya kita, masalah pendidikan, pekerjaan, sanitasi, infrastruktur lain melekat di instansi lain. Mari kita bekerja sesuai tupoksi masing-masing," katanya

Kadinkes Ahmad mengatakan apresiasi kepada KPAI atas rekomendasi forum lintas sektor. Bahkan kata Azis, saat ini sudah terbentuk forum bersama OPD terkait. “Tapi apa gunanya forum kalau tidak bekerja.  Harusnya kerja-kerja bersama, mari kita menggenjot stunting ini sesuai tupoksi masing-masing,” pungkas Kadinkes Ahmad Azis. (*)

Penulis: Harmegi Amin
Editor: Tim Redaksi


comments