-->

Hot News

Jeritan Tangis Petani Garam Sumenep di Bulan Kelahiran Pancasila

By On Jumat, Juni 12, 2020

Jumat, Juni 12, 2020

Tumpukan garam yang belum terserap (Foto: Khairullah Thofu)


SUMENEP, MASALEMBO.COM - Memasuki bulan Juni 2020 musim panas menyambut. Musim yang sangat ditunggu oleh jutaan petani garam Indonesia itu, tak terkecuali petani garam di dua Desa di Kabupaten Sumenep; Kanganyar dan Desa Pinggirpapas.

Musim panas kali ini bersamaan dengan bulan-bulan progresif; kelahiran bapak bangsa Indonesia dan hari lahir Pancasila. Kedua momentum Juni itu merupakan elemen penting yang membawa harapan dan kebahagian baru, dunia baru bagi masyarakat Indonesia dari masa penjajahan menuju kemerdekaan. Namun sayang di bulan Juni yang syarakat akan kebahagian secara empiris kali ini berbanding terbalik dengan yang dialami petani garam yang justru menjadikan ini malapetaka bagi mereka.

Malapetaka yang pertama di bulan Juni ini datang dari ketidak bersahabatannya alam, yaitu cuaca buruk sesuai dengan yang diprediksi BMKG, dimana air laut naik dan menerjang puluhan hektar tanah lahan pertanian garam, tanggul penahan ombak pun jebol. Sudah barang tentu situasi ini membuat petani garam menjerit karena harus merogoh kocek lagi untuk memperbaiki tanggul mereka.

"Rata-rata memerlukan 10 hingga 20 juta untuk memperbaiki tanggul tambak yang lebur diterjang ombak," ujar salah seorang anak petani garam  di Desa Pinggir Papas, Anwar Anggasuto, Jumat (12/6/2020).

Petaka bulan Juni selanjutnya adalah anjloknya harga garam rakyat sampai hari ini. Sudah menjadi lumrah dimana petani tak mampu berdaulat atas hasil produksinya yang tak mampu menentukan harga. Harga garam rakyat per hari ini saja berkisar Rp250 sampai Rp400 per 1 ton. Belum lagi harus dipotong biaya angkut sebesar Rp150ribu. Bahkan dalam perjalanannya selama ini komoditas garam lokal tak berdaya di hadapan garam impor. Ini merupakan tirani pasar yang membuat petani garam kecil semakin jatuh kejurang kemiskinan.

"Harga garam yang tak manusiawi akibat regulasi impor yang membabi buta dengan harga 300 ribu per ton dan biasa dipotong biaya angkut 150 ribu per ton yang didapatkan petani," kata Zainal Arif, sorang petani garam mengeluh.

Akan tetapi di tengah pandemi Covid-19 dan ketidak pastian harga dari pemerintah, petani garam tetap memaksakan untuk terus bekerja. Ini dikarenakan situasi yang memang serba sulit ini. Mereka lebih takut lagi jika dapur tidak mengepul dan mati dalam kelaparan.

"Rakyat lebih takut hadapi anjloknya harga garam ketimbang Covid 19 demi keberlangsungan hidup karena mati adalah takdir Tuhan yang tak bisa ditunda," kata Anwar.

Lantas warga mulai bergumam, apakah petaka bulan Juni 2020 yang membuat petani garam di Kabupaten Sumenep kali ini merupakan imbas dari Pilpres 2019 yang lalu, dimana Presiden Jokowi mengalami kekalahan telak di Pulau Garam Madura? 

Dwipa Ageng Mulyadi mengatakan kepada Masalembo.com, bahwa fakta politik 2019 yang lalu khusus di Kecamatan Kalianget yang merupakan kecamatan dari dua Desa Karanganyar dan Pinggirpapas Jokowi-Ma'ruf mengalami kemenangan. Secara politik ujar pemuda yang aktif menyuarakan kenaikan harga garam rakyat di daerah tersebut. Kata dia pemerintah harusnya tidak tutup mata untuk memperhatikan kesejahteraan petani garam di desanya itu. Lebih memperhatikan kata dia karena rakyat Kecamatan Kalianget sudah memberikan suara politiknya untuk Jokowi.

"Pemerintah hari ini bagai kacang lupa kulit. Sudah dimenangkan mala tidak peduli terhadap petani garam, dimana harga garam rakyat sangat rendah dan bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang terus melonjak," jelasnya.

Di Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep sendiri terdapat Perusahaan BUMN PT Garam Indonesia, yang memiliki konsesi garam terbesar di Pulau Madura khususnya di Kabupaten Sumenep. Namun dipertanyakan keberadaannya dalam memperbaiki harga garam rakyat.

Menurut Dwipa Ageng Mulyadi, perusahaan itu tidak boleh hanya berfikir tentang kalkulasi keuntungan, akan tetapi harus punya efek pembangunan ekonomi kerakyatan. Dalam hal ini kata dia, perusahaan garam tersebut harus ikut membangun basis ekonomi rakyat utamanya petani garam. "Namun PT garam sendiri tak mampu mendistribusikan hasil produksinya, itu bisa terlihat dari banyaknya garam yang di gudang-gudang perusahaan bahkan sampai harus membuat gudang semi permanen," katanya.

"Lalu apa fungsi PT Garam sebagai kepanjangan bisnis negara dalam membangun dirinya dan membantu rakyat untuk berdikari secara ekonomi jika kepindahannya ke Kalianget hanya omong kosong karena Dirutnya tak pernah blusukan ngajak rakjat untuk berdialog," tutup Dwipa Ageng mempertanyakan. (*)

Pewarta: Khairullah Thofu
Editor: Harmegi Amin

comments