-->

Hot News

Masuknya Islam di Pitu Ulunna Salu (05): Kediaman Pukkali Malunda, Rumah Singgah Warga Ulumandaq

By On Jumat, Maret 01, 2024

Jumat, Maret 01, 2024

Penulis Muhammad Ridwan Alimuddin di Makam KH Muhammad Husein (Pukkali Malunda) di Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene. [Foto Muhammad Ridwan Alimuddin]


Catatan: Muhammad Ridwan Alimuddin


MESKI memiliki kekaramahan, ada sifat Pukkali Malunda yang lebih menimbulkan kesan mendalam bagi masyarakat Malunda. Yakni hidupnya yang sederhana, bersahaja, pekerja keras, dan sangat menghargai tamu. Pukkali Malunda tidak tergolong sebagai orang kaya, tetapi dalam sejarah hidupnya, beliau selalu bisa memberi makan berapa pun banyaknya orang yang bermalam dirumahnya. Padahal pekerjaan utamanya hanyalah bertani dan berkebun.

Kediaman Pukkali Malunda bagai rumah singgah bagi orang-orang dari pedalaman Malunda dan Ulumandaq, yang turun gunung untuk membawa hasil-hasil pedalaman yang akan dibarter dengan komoditas pantai. Oleh sebab itu rumah Pukkali Malunda selalu ramai.

“Saya dan keluarga biasa bermalam di rumah Pukkali Malunda kalau kami turun ke pantai,” cerita Mono (78) warga Taukong kepada saya saat menanyakan apakah pernah ke rumah Pukkali Malunda, 25 Februari 2024.

Pernah kejadian, isteri Pukkali Malunda menyampaikan ke suaminya bahwa sudah tidak ada uang untuk berbelanja bahan makanan yang akan digunakan memberi makan orang yang terlibat dalam pembangunan mesjid. Pukkali Malunda menyampaikan, “Esok pagi angkat bantalku, di situ ada uang. Tapi nanti uang itu dihabiskan untuk membelanjakan bahan makanan bagi pekerja mesjid.” Betul, ada uang. Hanya saja, isterinya tidak habis membelanjakan dengan alasan uang itu akan dijadikan sebagai cadagangan atau persiapan bila nantinya ada tamu di hari-hari mendatang. Isterinya kaget, ketika uang itu akan digunakan berbelanja, uang itu sudah tidak ada. Saat melapor ke suaminya, Pukkali Malunda mengemukakan, “Memang sudah saya sampaikan bahwa uang itu harus habis dibelanjakan untuk pada hari itu saja.”

Waktu lain, ketika tamu datang silih berganti bertandang dan bermalam di rumah Pukkali Malunda, pembantu dan isteri Pukkali Malunda mengalami kelelahan. Mereka tertidur padahal ada tamu yang harus diberi makan. Ada yang berniat membangunkan, tapi Pukkali Malunda melarang. Dengan kata lain, Pukkali Malunda turun langsung ke dapur membuat “jepa” untuk tamu-tamunya.

Rutinitas Pukkali Malunda secara garis besar adalah berada di mesjid untuk shalat subuh. Selesai shalat dan sarapan, dengan berjalan kaki, Pukkali Malunda menuju kebun atau ladangnya. Pekerjaan membersihkan dan menanam dijalaninya sendiri, dibantu orang kampung. Menjelang tengah hari, Pukkali Malunda balik ke rumah untuk selanjutnya shalah dhuhur di mesjid. Demikian juga kala waktu azhar. Sore hari diisi dengan mengaji atau mempelajari kitab dan memberi makan ternak-ternaknya. Malamnya, di antara shalat magrib dan isya, Pukkali Malunda memberi materi ilmu agama di mesjid.

Pukkali Malunda memiliki banyak kitab. Suatu waktu dia ke pedalaman untuk mengajarkan Islam. Untuk membawa kitab butuh empat pikulan atau empat orang. Ada kitab yang sangat berharga yang dimiliki Pukkali Malunda, yang konon di Sulawesi Selatan waktu itu hanya dimiliki tiga orang. Selain Pukkali Malunda adalah Syaikh Hasan dan Ambo Dalle. Begitu berharganya kitab tersebut, untuk bisa memilikinya Pukkali Malunda harus menjual 40 ekor kerbau.
Pukkali Malunda juga biasa melakukan pelayaran guna berdagang bersama kerabatnya. Ada perahu baqgo, bernama Kaneko, yang sering digunakan berlayar ke Makassar untuk menjual kopra. Pernah kejadian, kala pelayaran ke Kalimantan Timur untuk mencari dana pembangunan mesjid, perahu mengalami kerusakan. Mereka pun terseret ke arah utara untuk kemudian dilabuhkan di sekitar Ujung Lero (Pinrang; Pare-pare).

Sambil menunggu perahu diperbaiki, Pukkali Malunda tinggal beberapa saat di Ujung Lero. Menyadari ada Pukkali Malunda, masyarakat Ujung Lero mendatangi Pukkali Malunda meminta barakahnya. Saat datang, para peziarah itu kadang memasukkan uang ke tempat infaq. Ketika akan pulang, pengikut Pukkali Malunda melapor ke Pukkali bahwa terkumpul uang sekian juta rupiah. Tapi oleh Pukkali Malunda, uang yang diambil sesuai yang dibutuhkan untuk pembangunan mesjid. Sebagian besar sisanya ditinggalkan, disumbangkan ke Mesjid Lero.

Suatu waktu, Pukkali Malunda mengadakan pelayaran ke Kalimantan Timur. Juga ikut serta salah seorang cucunya. Di tengah laut, perahu bocor, mesin rusak karena terendam air. Pukkali pun meminta awak perahu untuk menimba dan menutup mesin dengan karung. Ajaibnya, hanya timba beberapa kali air langsung surut di dalam lambung perahu dan mesin pun kembali aktif. Ketika tiba di tujuan, saat karung penutup mesin dibuka, tampak mesin yang sangat rusak, yang menurut akal tak mungkin bisa digunakan dalam pelayaran.

Usia lanjut tak menghalangi kegiatan hidup Pukkali Malunda. Tetap bertani, jalan kaki jauh dijalaninya dan menjalani gaya hidup sehat, misalnya tidak merokok. Begitu sehat tubuhnya, penyakit usia lanjut, seperti pendengaran dan penglihatan berkurang tidak dialami. Gigi pun tak ompong.

Menyadari orangtuanya belum menunaikan salah satu rukun Islam, oleh anak Pukkali Malunda mendorong ayahnya untuk beribadah haji. Awalnya pihak pengelola haji seakan tak memberi ijin sebab umur yang sangat tua. “Kalau memang saya akan wafat di sana, itu tidak apa-apa,” tanggap Pukkali Malunda. Singkat kata, kerabat Pukkali Malunda pun melengkapi proses pengurusan haji. Waktu itu, 1992, ongkos naik haji masih Rp 3,6 juta.

Sewaktu di Mekkah, Pukkali Malunda pernah terjatuh. Dia dibantu bangun oleh salah seorang jamaah yang juga berasal dari Mandar, yaitu H. Rahmat. Sejak kejadian itu, kondisi fisik Pukkali Malunda menurun. Kurang sepekan semenjak tiba di kampung halaman, di Malunda, di rumah kerabatnya Pukkali Malunda merasa dirinya akan dipanggil Allah SWT. 

Menjelang wafat, Pukkali Malunda bertanya “Apakah semua anak dan keluarga dekatnya sudah berkumpul semua?”. Ketika semua sudah berkumpul, dengan takzim, dengan posisi tetap berbaring, Pukkali Malunda melakukan gerakan takbir, mendekapkan kedua tangan ke dadanya. Tak lama kemudian beliau wafat. Pukkali Malunda wafat setelah Isya, 27 Juni 1992 atau 28 Zulhijjah. Keesokan harinya, Pukkali Malunda dimakamkan di depan Mesjid Malunda. (*)

SELESAI.

comments